Amerigo Bonasera gembira sekali mendengar suara hakim tersebut. Sudah sejak semula, dia menganggap dua pemuda yang coba memperkosa anak gadisnya, sebagai binatang. Maka kalau hakim berkata begitu, cocok adanya.
Hakim meneruskan bicaranya:…tapi karena kamu berdua masih muda, dan kamu belum pernah berurusan dengan polisi. Karena keluargamu baik-baik dan lagi pengadilan memang tidak bermaksud membalas dendam, maka kamu berdua aku hokum harus… masuk pendidikan anak-anak terlntar selama tiga tahun.”
Amerigo Bonasera sangat terperanjat. Anak gadisnya yang sangat cantik, satu-satunya yang dia miliki, masih terbaring di rumah sakit dan pahanya patah gara-gara perbuatan kedua pemuda itu.
Bagaimana mingkin kedua pemuda itu dibebaskan? Mereka memang anak-anak penggede, dan Amerigo Bonasera orang biasa. Inikah keadilan? Inikah Amerika?
Amerigo Bonasera sangat marah. Darahnya terbakar hebat. Apalagi setelah dilihatnya kedua anak muda itu tersenyum-senyum bangga, karena menang. Mereka, kedua anak muda itu dan keluarganya, saling berpelukan. Tertawa cukup keras. Ya, sementara anak gadis Amerigo Bonasera yang sangat cantik, satu-satunya pula, tergeletak di rumah sakit.
Peristiwa itulah yang membuat Amerigo Bonasera tak dapat mengendalikan diri.
Diri menjulurkan tubuhnya kedepan dan dengan penuh kebencian berteriak kepada orangtua kedua anak itu: “Kalian akan menagis seperti aku menangis. Aku akan memaksamu menangis seperti anakmu yang membuat aku menangis!!”
Karena teriakan itu, kedua anak muda itu, dan orangtua mereka, cepat-cepat diamankan.
Amerigo Bonasera benar-benar penasaran. Pikirannya yang dipenuhi kebencian, ingin segera membeli senjata untuk menembak kepala kedua anak muda itu, hingga remuk. Tapi yang dilakukannya kemudian adalah berpaling kepada istrinya, dan berkata; “Mereka telah berlaku bodoh kepada kita!”
Dan setelah mengambil nafas panjang, Amerigo Bonasera berkata tandas: “Untuk mencari keadilan, kita harus menghadap Don Corleon.”
Adegan diatas adalah permulan buku The Godfather karangan Mario Puzo.
Permulaan yang menggetarkan. Memaksa pembaca untuk tidak melepaskan buku tersebut sampai akhir. Karena ceritanya memang mencekam. Penuk kejutan. Luar biasa. Aneh. Ngeri tiada tara.
Kedua pemuda yang memperkosa anak Amerigo Bonasera itu, misalnya, akhirnya dihajar habis-habisan oleh anak buah Don Corleone (Godfather) sampai anggota badan mereka patah dan harus dirawat di rumah sakit sampai berbulan-bulan.
Dalam bentuk Pocket Book, tebal buku sekitar 500 halaman. Toh kita tidak ingin melepaskan begitu saja. Sebaliknya, ingin cepat menyelesaikan.
Maka layak kalau buku tersebut dicetak ulang beberapa kali. Bahkan oleh beberapa penerbit. Malahan untuk tahun 70-ana, The Godfather adalah yang paling top. Terjual samapai 13.000.000 eksemplar adalah prestasiyang luar biasa. Dibawahnya adalah The Exorcist-nya Blatty (11 juta). Love Storynya Eric Segal (9,8 juta), Jaws yang terkenal itu, karya Benchly (9 juta).
THE GODFATHER kemudian dibuat film, dengan tokoh utama actor kenamaan Marlon Brando sebagai Don Corleone (Godfather), digarap sutradara jempolan Francis Ford Cappola, dan diedarkan oleh Paramound.
Keberhasilan film tersebut, dibuktikan dengan Oscar, lambing keunggulan dunia film. Juga dibuatnya film The Godfather II dan III, yang sama suksesnya (boxoffice).
Tapi dibalik suksesnya The Godfather buku maupun The Godfather film, ternyata terpampang kisah menggetarkan pengarangnya, Mario Puzo, yang hampir saja mati konyol sebagai penulis.
Seperti katanya sendiri: “Kalu The Godfather tidak menghasilkan uang banyak, barangkali aku sudah mati.”
Apa sebab? Karena Mario Puzo dalam keadaan sangat miskin. Untuk membelikan sepatu anaknya saja, dia harus meminjam uang dari kakanya. Belum lagi masalah rumah tangga yang begitu banyak. Satu istri, lima anak, hidup di Amerika yang materialistis. Persetan dengan orang lain yang miskin atau mati konyol atau sakit atau menderita atau hamper mati atau pingsan atau senewen.
Lebih ngeri lagi, Seluruh keluarga Mario Puzo tidak memberi dorongan. Ibunya mengatakan Mario Puzo telah ‘gila’ berani hidup sebagai pengarang. Saudara-saudaranya, anak-anaknya, semua mengecam karena terbukti karir penulis tidak bisa mencukupi kehidupan mereka. “Aku sangat marah kepada mereka!” kata Mario Puzo, “sebab tak seorang pun dari mereka yang mendukungku!”
Dia ingat peristiwa tahun 1955. Waktu itu, dia sudah menerbitkan buku berjudul The Dark Arena. Meski para pengkritik mengatakan buku itu bagus, ternyata tidak laku dijual. Buku diselesaikan tahun 1935. Tapi mencari penerbit sulitnya ngudubilah setan.
Baru disetujui 15 tahun kemudian. Dan harus menunggu 5 tahun lagi untuk melihatnya sebagai buku sungguhan. Tapi hasilnya sangat mengecewakan: hanya memberikan penghasilan 3.500 dolar kepada Mario Puzo. Dipotong pajak yang hamper 50 persen dan agen 10 persen, sisanya hanya membuat Mario Puzo lebih menderita.
Dalam keadaan seperti itulah, Mario Puzo tiba-tiba diserang penyakit. Kandung empedunya memberontak, sakitnya bukan main. Mario segera memanggil taksi dan pergi ke Rumah Sakit Veteran. “Hari itu Ntal, kenang Puzo. “Begitu keluar dari mobil, aku terjatuh di…parit. Aku tergeletak. Dan berpikir: inilah aku, pengarang yang bukunya telah diterbitkan dan dinyatakan sebagai bagus? Dan aku tergeletak disini, hamper mati seperi anjing kudisan!!”
Mario Puzo benar-benar marah kepada dirinya sendiri. “Aku sudah muak jadi orang miskin!” teriaknya. “Aku harus jadi pengarang yang kaya dan termasyur!!!”
MEMETAKAN BERAKHIRNYA KEMISKINAN
Waktu itu Mario Puzo berumur 34 tahun. Sepuluh tahun kemudian , buku kedua terbit. Judulnya The Fortunate Pilgrim (1965). Para pengkritik mengatakan buku ini bagus. Mario sendiri sejak semula memang yakin bukunya baik, punya nilai sastra. Tapi…
Ya, tapi buku keduapun sama nasibnya dengan buku pertama: tidak menghasilkan uang. Malahan lebih sedikit bila dibandingkan buku pertama. Dipotong pajak dan agen.. Sisanya hanya menghasilkan kere lagi!
“Aku sangat menyukai novelku yang kedua itu,” kata Mario Puzo, dan aku menganggapnya sebagai karya seni. Tapi penerbitnya, Atheneum, punya pendapat lain. Sebuah novel klasik selamanya tidak akan mendtangkan ung!
Mario Puzo ingin jadi pengarang murni. Artinya dia hanya berurusan dengan sastra, dan bukan yang pop-pop itu. Maka dia minta diberi bantuan lagi, karena dia akan menghasilkan sebuah novel yang terbesar. Keinginan ini ditolak!
Mario sangat kecewa. Dia ingin membuat novel lain yang terbesar, yang murni, yang bernilai sastra. Tapi penerbitnya menginginkan cerita yang ada bau mafianya. Atau malah cerita tentang mafia. Menurut mereka, kisah semacam itu, akan laris. Bisa mendatangkan uang!
Apa boleh buat. Mario Puzo sudah jemu jadi kere. Umurnya sudah 40 tahun. Kalau belum bisa menghasilkan uang juga, lantas mau jadi apa?
Meski agak berat, Mario Puzo menerima juga tawaran penerbit membuat novel tentang mafia.
Dari Putnam, Mario mendapat uang panjar lumayan jumlahnya. Setelah itu, mulailah Mario mengadakan riset tentang mafia, dunia bawah tanah yang menghantui Amerika Serikat selama puluhan tahun.
Karena Mario Puzo sendiri orang Italia, maka dia mendapatkan banyak bahan dari cerita-cerita orang Italia (Sisilia khususnya) yang dikenalnya. Ditambah penyelidikannya, akhirnya menghasilkan The Godfather yang terkenal itu.
TENTU SAJA, tidak semudah pelaksanaannya. Tiga tahun mempersiapakan, jelas merupakan bukti kerja keras Mario Puzo untuk menantang nasibnya yang buruk sebagai pengarang dan sekaligus untuk membuktikan dia bisa menulis buku yang menghasilkan uang banyak. “Aku tidak merasa sangsi bisa menulis sebuah novel yang bakal menjadi bestseller!” katanya.
Pada bulan juli 1968, selesailah karangan itu. Karena Mario Puzo sudah tidak punya uang lagi. Dan disamping itu, dia sudah menjanjikan kepada istrinya untuk diajak ke Eropa (yang sudah ditinggalkan selama 20 tahun). Maka naskah tersebut diserahkan kepada penerbit dan Mario minta (pinjam) 1.200 dolar. “Sebelum saya pergi, “ kata Mario. “Saya minta kepada penerbit jangan memperlihatkan naskah saya itu kepada siapapun, sebelum saya kembali dari Eropa.”
Ketika kembali, penerbit Putnam hanya sanggup memberi 375.000 dolar. Mario sendiri meminta 410.000. “Untuk buku paper-back, 400.000 dolar saja sudah merupakan rekor tertinggi!” kata pihak Putnam.
Mario Puzo tidak mau kurang lagi. Maka bersama rekannya dari Putnam Mario keluar masuk penerbit di New York. Akhirnya Fcwett setuju membayar yang diminta Mario, setelah pengarang ini sehari suntuk berputar-putar dan lupa makan.
Kabar itu benar-benar sangat menggembirakan. Uang 400.000 dolar lebih (berarti Rp. 3 miliar lebih) tidaklah sedikit. Dalam seluruh karirnya sebagai pengarang, uang sebanyak itu belum pernah dimilikinya. Bahkan separonya pun belum pernah. Tapi kini, Rp. 3 miliar bukanlah suatu impian. Maka ketika seluruh keluarga Mario Puzo diberitahu (ibu, kakak, adik, anak-anak, istri) bahwa dia telah menjual bukunya seharga Rp. 3 miliar lebih, tak seorangpun yang percaya. Baru keesokan harinya, mereka yakin, apalagi setelah Mario Puzo memperlihatkan cek 100.000 dolar yang merupakan sebagian dari pembayaran yang harus diterimanya.
Mereka pesta. “Kini berakhirlah kemiskinan!” teriak Mario Puzo. Tapi uang 100.000 dolar tersebut (artinya sekitar 900.000 juta), ludes dalam waktu hanya 3 bulan. Digunakan untuk membayar hutang-hutang yang dia tumpuk selama dalam masa kere.
Benarkah kata Puzo: kalau Godfather tidak menghasilkan uang banyak, saya sudah mati!
Sebabnya jelas: Puzo mengidap penyakit yang sewaktu-waktu (kalau dia tidak punya uang untuk membayar dokter dan obat) merenggut nyawanya. Disamping itu, hutangnya sudah menggunung. Ditambah gencetan istri, anak-anak, orangtua, dan saudara-saudaranya yang semuanya menyalahkan Puzo “telah berani hidup sebagai pengarang”.
PERTARUHAN Mario Puzo dengan dunia karang-mengarang memang riskan sekali.
Lahir di New York dari keluarga miskin (ayahnya hanya pekerja kereta api), Puzo tumbuh di lingkungan miskin pula. Dia sudah harus mencari uang pada usia 6 tahun, sebagai kacung. Sedikit besar gemar judi.
Barangkali dia akan menjadi bajingan atau pemuda ugal-ugalan, seandainya ia tidak bertemu dengan perpustakaan yang memberinya kesempatan membaca buku macam apa saja. “Pada musim panas,” kata Mario Puzo, “aku menjadi perempuan”. Aku membaca buku-buku. Pada usia sangat muda, aku sudah mendapatkan dan kemudian menikmati perpustakaan.”
Mario Puzo gemar membaca di Hudzon Guild, dan berkenalan baik dengan petugasnya, Joseph Altshler, yang suka bercerita pula.
Tapi yang paling menarik bagi Puzo, tentu saja buku-bukunya. Sebab lewat buku-buku itulah calon pengarang ini berkenalan dengan orang-orang besar dunia. Seneca, Sabatini, Don Savage, dan lainnya. “Lalu, barangkali pada umur 14 atau 15 dan 16,” katanya, “Aku menemukan Dostoyevsky. Aku membaca semua buku karyanya yang dapat aku raih. Aku menangis untuk Pangeran Myskin dalam The Idiot. Dan aku merasa bersalah sebagaimana Raskolnikov. Aku mengerti, untuk pertama kali, apa yang sebenarnya terjadi pada diriku dan orang-orang sekelilingku.”
Tentu saja Mario Puzo sangat tergugah keadarannya, karena karya-karya Dostoyevsky memang sangat mendalam. Mengupas segala watak manusia hingga konon, memberikan ilham kepadaSigmund Freud untuk penemuannya yang terbesar , yaitu lika-liku bawah sadar manusia. Ilmu Jiwa Dalam.
Dari bacaan itu, Puzo kemudian ingin jadi pengarang. Tapi keinginan ini mendapat tentangan dari ibunya. Baiklah. Mario kerja dan menabung. Dia ingin punya pacar tetap yang sangat dicintainya. Tapi gadis itu ternyata lari. Puzo pun minggat ke eropa, keliling kota-kota besar. Dengan Jip, terutama. Mengadakan kencan dengan gadis-gadis cantik. Akhirnya Puzo justru mendapat istri.
Petualangan di Eropa itu, merupakan bahan utama buku Mario Puzo yang pertama, The Dark Arena.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar