Rabu, 02 Februari 2011

James Bond : Ian Fleming Part 2


Berarti, saat lan Fleming menghasilkan novel pertamanya, dia lama sekali tidak memikirkan sukses. Apalagi uang. Dia hanya enulis untuk menyenangkan dirinya sendiri. Untuk 'membunuh waktu', daripada hanya menunggui kekasihnya melukis!

Toh begitu, ketika terbang ke London, naskah itu dibawanya juga. Tapi tidak untuk diperlihatkan kepada siapa-siapa. "Aku terlalu malu dengan naskah itu!" kata Fleming. Malu kalau dibaca teman dan teman itu mengatakannya jelek!

"Tak mungkin ada penerbit yang mau menerbitkannya!" kata lan lagi. "Kalau toh akhirnya diterbitkan juga, aku tidak berani menatapnya"

Maksudnya: kalau toh naskah itu diterbitkan juga, lan Flerajt tidak berani menghadapi reaksi masyarakat—yang mungkin sekali akan melecehkannya.

Karena tidak PD itulah, ketika lan Fleming makan siang bersama William Plomer di Restoran Ivy, dia berandai-andai. "Bagaimana caranya lepas dari asap rokok seorang perempuan, sekali kau di dalamnya?" tanya lan. Plomer agak keheranan juga. Lalu metetal meneruskan pembicaraan mengenai 'asap rokok itu, ketik tiba William Plomer sadar: "Kamu telah menulis sebuah buku ya?! lan Fleming hanya bisa mengangguk setelah 'ditebak tepat' oleh temannya itu. "Aku harus membacanya!" pinta William lagi.

Fleming hanya mengangguk. Dan, begitulah mula pertan Casino Royale mulai dibaca orang lain. William Plomer, tern baiknya. Meski, sebenarnya, tidak segampang itu. Sebab karena tidak PD-nya lan Fleming, baru setelah dua bulan, naskah itu benar-benar diberikan untuk dibaca!

"Aku belum juga mengirimkan naskah ini, karena malu. menulis buku ini hanya untuk menunjukkan pada diriku bahwa aku bisa menulis. Aku tidak membacanya lagi setelah kutulis
Pendeknya, lan Fleming 'memaki-maki sendiri' pertamanya itu. Meski begitu, naskah akhirnya dikirimkan kepada William Plomer untuk dibaca...

TERJUAL LIMA RIBU EKSEMPLAR, MERASA TERHINA!

PLOMER kemudian mengirimkannya kepada sahabat mereka berdua, Jonathan Cape yang penerbit.

Di luar pengetahuan Fleming, Plomer juga mengirim naskah itu ke sahabat lain, Daniel George. Daniel pun membaca Casino lojale dengan penuh perhatian. Dia tertarik, tapi "untuk diterbitkan, harus direvisi dulu!"

Cape setuju. lan Fleming pun, setelah membaca surat Daniel, juga setuju draft Casino Royale "harus direvisi besar-besaran".

Fleming yang semula pesimistis, kini gairahnya bangkit lagi. Mesin ketiknya yang lama, Imperial, tak dipakai lagi. Fleming pesan khusus mesin ketik baru di New York, dan memperoleh mesin ketik Royalyang 'keemasan'. Harganya 174 dolar.

Cukup banyak bagian yang harus ditulis ulang. Fleming juga harus mengecek kembali nama-nama senjata yang dipakai dalam : Casino Royale itu. yang ternyata banyak yang salah. Tapi akhirnya revisi besar selesai pada akhir Agustus, sehingga dapat dikirim kembali ke Plomer.

Cape merencanakan penerbitan thriller itu pada April 1953. Sementara itu, naskah Casino Royale juga dikirimkan kepada sahabat lainnya, Paul Gallico (pengarang sejumlah novel laris, antara lain inferno yang masyhur). Penulis ini merasa telah menulis banyak mengenai penyiksaan atas manusia, "tapi setelah membaca karyamu, semua yang aku tulis telah kau patahkan!"

'Akuyakin kau dapat menulis novel yang baik!" kata Gallico pula. Pengarang masyhur lainnya yang dikirimi Casino Royale, adalah Somerset Maugham. Dia pun memuji, meski tidak setinggi pujian Paul Gallico. Tapi karena Maugham memang lebih tinggi 'kadar kesastraannya, dibanding Gallico, maka lan Fleming meminta izin, komentar Maugham itu dapat dimuat di cover Casio Royale. Ternyata, secara dingin Maugham menolak atau tidak memberi izin!

Dalam perundingan, Jonathan Cape akan mencetak Casino Royale 7.000 eksemplar. Fleming meminta 10.000, tapi Cape menolak. Perjanjian lain: Fleming dapat rqyalti 10 persen setiap penjualan 10.000 eksemplar. Kalau dicetak ulang dan mencapai 20.000, royaltinya naik pula menjadi 20 persen!

SAMBIL menunggu penerbitan buku pertamanya, lan Fleming sudah ngebut buku kedua: Live and Let Die. Tentu: ditulis di Jamaica, di tempat tinggalnya yang diberi nama Goldeneye (nama ini diambil dari 'kode sandi' Winston Churchill pada PerangDuni II, saat Inggris beroperasi di Spanyol menghadapi Jenderal Franc yang diktator. Goldeneye juga diambil dari buku karya McCullier yang dikagumi, judulnya Reflection in a Golden Eye).

lan Fleming cepat-cepat menulis thriller kedua, karena tid ingin 'resensi buruk mengenai Casino Royale' akan mempengau dirinya. Kalau toh nanti reaksi masyarakat atau kritikus buruk Fleming sudah merampungkan buku kedua!

Ternyata, setelah terbit, resensi tentang Casino Royale tidak buruk. Tidak terlalu memuji, tapi juga tidak 'membunuh'. Reaksi mereka bervariasi, dan itu wajar.

Dicetak April, ternyata hingga Mei hanya laku 4.750 eksemplar. Ini mengecewakan Fleming. Bahkan dia menganggapnya sebagai I 'penghinaan'. Tapi dia harus realis: itu kenyataan.

Ketika 'dijual' untuk edisi Amerika, tanggapan penerbit berbeda. Tiga penerbit pertama yang dihubungi, menolak menerbitkan Casino Royale di Amerika. Termasuk Doubleday. Tapi penerbit keempat, Macmillan, akhirnya setuju menerbitkan edisi Amerikanya. Bahkan, lan Fleming akan diberi royalti "seperti diberikan kepada (pengarang masyhur) Ernest Hemingway". Apa benar begitu, waktu yang akan membuktikan.


JADI BESTSELLER MENJELANG KEMATIANNYA

ANTARA lain karena penjualan Casino Royale tidak begitu meledak terjua! 5.000 eksemplar, meski kelak akan terjual sampai 30.000 eksemplar) lan Fleming kemudian bekerja untuk Koran lagi.

Bekerja di media massa jelas bukan hal baru. Di masa mudanya dulu, setelah dia menguasai Bahasa Rusia dan lainnya, lan bekerja agai wartawan dan ditempatkan di Moskow. Bertahan sekitar ipat tahun, Fleming kemudian kembali ke London dan jadi pialang hingga 1939.

Di masa perang, Fleming bekerja di lingkungan Intelijen igkatan Laut Inggris, di bawah Admiral John Geofrey (yang agaknya menjadi 'Mr M' dalam buku-buku James Bond-nya). Sampai pangkatnya jadi Commander.

Setelah pensiun, Fleming bisa dibilang 'menganggur' meski melakukan riset untuk buku dan sesekali menulis kolom di surat kabar. Lalu sampailah di Goldeneye, saat dia bersama calon istrinya, Anne, disuruh 'coret-coret atau menulis' untuk membunuh waktu karena tak ada yang dikerjakan di Jamaica.

Dari situlah lahir thriller pertamanya, Casino Royale, umurnya 44 tahun. Sebelum buku itu dilempar ke pasar, Fleming sudah menulis buku kedua: Live and Let Die. Begitulah memang 'gaya kerja' lan Fleming. Dia sudah terlanjur senang dengan tokoh utamanya, James Bond.

Dan kadung kesengsem dengan dunia spionase diciptakannya. Maka, sebelum setiap buku baru dirilis, Fleming pergi ke Gordeneye di (amaica, untuk menulis novel berikutnya. Begitu terus menerus hampir setiap tahun.

Pada mulanya, lan Fleming mengarang hanya untuk kesenangan diri sendiri. Lalu terbersit keinginan memperoleh sukses besar dalam hal poundsterling atau dolar. Akhirnya dua keinginan itu digabung: ya menulis untuk kesenangan, ya berharap bisa memanen dolar atau poundsterling!

Memang tidak semeledak buku-buku karangan John Grisham misalnya. Buku pertama Fleming semula hanya laku eksemplar. Padahal dicetak 7.000 eksemplar. Setelah edisi; terbit, laku 7.000 eksemplar. Itu pun memerlukan waktu cukup lama. Buku kedua. Live And Let Die, juga mengalami nasib yang sama.

Tapi lan Fleming sudah tidak begitu peduli lagi: kini, nomor satu adalah menghasilkan serial James Bondyang baru. Seteiah itu, baru berharap bisa laku keras.

Ternyata, apa yang diharapkan baru terjadi sekitar 8 tahun kemudian: pada 1961, Presiden Amerika John F Kennedy, mengumumkan ' 10 buku favoritnya'. Pernyataan itu diumumkan setelah diwawancarai wartawan majalah Life. Salah satu dari buku itu berjudul From Russia With Love karangan lan Fleming!

Sejak itu pula, buku-buku serial James Bond menjadi bestseller. Baikyang sudah dicetak sebelumnya, maupunyang baru. Antara lain: Thunderball, Moonraker, The Diamond Smugglers, For Your i Eyes Only, The Man With the Golden Gun. On Her Majesty's I Secret Service, Diamond are Forever, The Spy Who Loved Me. Kalau semula ham/a dicetak 5.000 hingga 10.000 eksemplar, [dengan masuk dalam 'daftar bestseller', buku-buku Fleming fmenjadi boom, khususnya untuk Amerika. Dari seluruh karyanya, s 12 buku, penerbit mencetak antara 40 hingga 50 juta eks.

lan Fleming benar-benar menjadi kaya raya seperti yang diangankan. Apalagi, dua produser film dari Kanada dan Amerika, Harry ISaltzman dan Albert Broccoli, bersepakat membuat film-film James |Bond. Mereka membeli hak filmnya yang menghasilkan tumpukan dolar bagi lan Fleming. Sebagai pengarang minimal memperoleh isil tambahan 5 persen dari setiap filmyang dibuat! Untuk keperluan itu, koran The Daily Espress membuat sayembara mencari tokoh pemeran James Bond'. Tidak kurang 1.100 orang melamar, termasuk seorang lelaki yang mengaku

bernama James Bond. Tapi tak ada satu pun yang dianggap 'COCOK . Ini mengingatkan orang pada pencarian pemeran Scarlett, leading lady untuk film Cone With The Wind yang legendaris itu.

Beberapa bintang tenar seperti David Niven dan Richart Burton, diusulkan. Tapi tidak memenuhi syarat. Akhirnya Saltzman sendiri yang menemukan: yaitu 'lelaki tanpa karir, bernama Scan Connery. Barulah lan Fleming merasa 'pas'. Sejak itu pula, James Bond identik dengan Scan Connery. lagi pada lan Fleming pengarangnya!

Scan Connery pun menjadi kaya raya berkat serial lames itu. Tapi, ternyata, From Russia With Love memang 'masterpiece’-nya lan Fleming: sebab tiga tahun setelah itu, pada 12 Agustus 1964, dia meninggal karena sakit.

Walhasil, film-film |ames Bondyangke 13 hinggayangterl seri ke-20 dan seterusnya, bukan karya lan Fleming. Prod film telah membeli 'hak membuat film |ames Bond'-nya. produser pula yang mencari penulis untuk 'kelanjutan' serial James Bond tersebut. Begitu fenomenal seri )ames Bond ini, sehinggj disebut sebagai "one of the most successful heroes of the 20th-century fiction".

James Bond : Ian Fleming Part 1


Dalam sejarah perfilman dunia, khususnya Hollywood, barangkali belum pernah ada ‘serial’ sampai 10 episode lebih. Rocky maupun Rambo (Stallone) paling banyak hanya sampai Part IV. Begitu pula Superman (Reeves) dan Indiana Jones (Harrison Ford).

Satu-satunya serial ‘abadi’ hanyalah James Bond. Tahun 2011, misalnya, dibuat sequel ke-20, yang kemudian diputar pada 2002. Meski ada sas-sus akan diperankan actor baru, tapi produser menegaskan : pemeran utamanya (James Bond) tetap Pierce Brosnan.

Sementara itu, MGM sebagai produser, juga telah meluncurkan ‘VCD Bond Collection’ yang berdurasi 742 menit. Merupakan koleksi enam film James Bond mutakhir. Tomorrow Never Dies, Golden Eye, License to Kill, The Living Daylight, A View to Kill, dan Octopussy. Diperankan Roger Moore, Timothy Dalton hingga Pierce Brosnan.

Sebelum itu James Bond nyaris identik dengan Sean Connery. Konon, film pertama pertama serial ini dibawakan David Niven. Tapi pengarangnya, Ian Fleming, tidak puas. Baru setelah dibawakan Connery, Fleming senang dan merasa ‘paling pas’. Itu pula sebabnya Connery terus dipakai, sampai dia merasa jenuh dan meninggalkannya, karena menginginkan peran yang lebih menantang.

Sean Connery mencapai tujuannya, setelah merebut Hadiah Oscar untuk perannya dalam The Untouchable.

Dulu, tahun 60-an hingga 70-an, James Bond memang selalu dibuat setiap tahun. Kemudian diputar setiap tahun baru. Ternyata selalu disambut hangat. Film-film James Bond selalu jadi Boxoffice! Itu sebabnya sampai mencapai episode ke-20.

Tentu, larisnya fim James Bond dimulai dari bukunya yang juga menjadi bestseller. Menurut sebuah sumber, terjual lebih dari 18.000.000 eksemplar (ada yang engatakan 40 juta eksemplar). Jelas membuat pengarangnya, Ian Fleming, menjadi kaya raya. Apalagi kemudian ditambah royalti dari film-filmnya, yang juga menjadi boxoffice.

Salah satu resep utama yang membuat serial James Bond laris, adalah diramunya unsure-unsur ini: wajah James Bond yang ganteng, macho, cerdas, punya senjata-senjata rahasia yang mematikan. Dikerubungi wanita-wanita cantik dan montok. Pertarungan menegangkan spion-spion Barat (Inggris Amerika) dan Timur (Rusia dulu Uni Soviet). Atau antara ‘dunia bebas’ dan komunisme.

Resep lainnya: selalu mencekam, terjadi kejar-kejaran yang melibatkan kendaraan-kendaraan ‘ekslusif’, perjudian dan tentu saja humor. Dan diakhiri dengan sex. Itulah resep utama film-film James Bond.

Memang ada perbedaan mencolok antara buku-bukunya (yang bestseller) dengan film-filmnya (yang boxoffice). Tapi intinya sama: memperkenalkan teknologi baru, baik untuk kendaraan maupun senjata.

Buku James Bond mencapai ‘puncaknya’, ketika Presiden Amerika, John F. Kennedy, mengumumkan 10 buku yang disukainya. Atas pertanyaan wartawan majalah Life, Kennedy menyebut: 1. Melbourne karangan David Cecil, 2. Montrose (John Buchan), 3. Marlborough (Winston S. Churchill), 4. John Quincy Adams (Samuel Flagg Bemis), The Emergency of Lincoln (Allan Nevins), 6. The Price of Union (Herbert Agar), 7. John C. Calhoun (Margaret L. Coit), 8. Byron in Italy (Peter Quennell), 9. From Russia with Love (Ian Fleming), dan 10. The Red and The Black (M de Stendhal).

Begitu terpesonanya Kennedy, sehingga dia meminta Direktur CIA, Allan Dules, untuk menjajaki kemungkinan membuat senjata ampuh, seperti yang digunakan James Bond dalam buku tersebut. Maklum: saat itu ‘perang dingin’ antara Barat dan Uni Soviet memang sedang mencapai puncaknya!

TERCIPTA KARENA AKAN MENIKAH DALAM USIA YANG CUKUP TUA

SETELAH pensiun sebagai Commander pada Dinas Intelijen Angkatan Laut Inggris, lan Fleming menjadi manajer urusan luar negeri grup harian milik Kemsley. Dia punya rencana: 10 bulan terja di London, Inggris. Dan dua bulan ada di Jamaica.

Tapi, sebenarnya, sudah lama lan Fleming ingin menulis novel. Atau tepatnya menulis 'spy story to end all spy stories' (cerita spionase yang akan mengakhiri semua cerita spionase). Tapi keinginan itu selalu tertunda-tunda.

lan Fleming malahan banyak menulis review buku atau artikel. Juga melakukan riset untuk sebuah bukuyang sama sek ada kaitannya dengan dunia spionase.

Ketika pada Januari 1952 lan Fleming ada di Goldeneye, tempat tinggalnya di Jamaica, rencana menulis thriller itu sudah berlalu sekitar enam tahun. Dan belum juga dimulai.

Di Goldeneye, Fleming tinggal bersama Anne-wanita akan jadi istrinya. dan tengah menunggu perceraian resminyac Lord Rothermere. lan Flemingyangdilahirkan pada 28 Mei 1908, merasa bosan karena tidak ada yang dikerjakan di tempat Anne sendiri menyibukkan diri dengan melukis.

Usia lan Fleming waktu itu mendekati 43 tahun. Atau kurang 10 minggu lagi.
"Kerjakanlah sesuatu. agar kamu tidak bosan. Menulis misalnya?" kata Anne memberi saran.

lan Fleming seperti marah kepada dirinya sendiri, karena hingga usia 43 tahun belum juga menikah. Padahal dia pernah studi di Inggris. jerman dan Switzerland, ganteng, banyak digemari, tukang rayu pula. Eh. ketika akan menikah, dengan wanita bersuami pula!

lan Fleming syok. Dan bosan hanya menunggui melukis. Karena itu. dia mempertimbangkan saran Anne' melakukan apa saja. misal menulis.

Ya, apa salahnya menulis? Sekadar untuk merinting-rintang waktu. Untuk menyenangkan diri sendiri!

lan Fleming pun masuk ke dalam. Lalu menarik mesin ketiknya yang telah berusia 20 tahun. mere Imperial. Merenung sebentar lalu mencari nama tokoh yang 'simpel. sederhana, mudah
diucapkan, dan diingat'. Fleming terpana pada buku berjudul Birds of the West Indies yang digemarinya, dan hampir selalu diletakkan di atas meja makan.

Penulis buku burung itu adalah James Bond. James Bond! Nama yang tepat!" pikir lan Fleming. lan Fleming pun mulai mengetik dan mengetik dan mengetik. Heran: tulisannya sangat lancar. Pengalamannya berpuluh tahun sebagai Commander di Dinas Intelijen Angkatan Laut Inggris. Cerila-cerita yang didengar atau bahkan dialaminya. Diramu ;animajinasinya_yang sudah lama hovering di kepalanya. Semua seperti meledak mendadak di pagi hari Selasa lanuari 1952 itu.

Seperti banjir yang menghantam tanggul, tulisan lan Fleming mengalir begitu deras. Padahal tanpa persiapan. Tanpa catatan satu cuwil pun! Sepagi itu Fleming dapat merampungkan sekitar 2.000 kata. Dan karena mulai keranjingan pada cerita yang tengah ditulis, Fleming menetapkan setiap pagi selama tiga jam, minimal dia harus merampungkan 2.000 kata!

Pengalamannya sebagai wartawan di Moskow selama empat tahun, sungguh menolong. Kini dia selalu mengetik antara pukul 09.00 hingga 12.00. Lalu istirahat. jalan-jalan. Mandi matahari. minum. Dan seterusnya.
Sekitar tujuh minggu, rampunglah novel itu. lan Fleming Imemberinya judul Casino Royale

AKU MALU SEKALI PADA NOVELKU INI!

“BAU asap rokok bercampur bau keringat dari suatu casino, selalu menjemukan. Membuat mual. Ditambah gumpalan campuran perasaan tegang dan panas, semua menjadi tak tertahankan dan membuat orang memberontak sekeras-kerasnya.

lames Bond tiba-tiba merasa capek sekali. Dia selalu menyadari bila tubuh atau syarafnya sudah tak tahan lagi dan dia bertindak menuruti perasaannya itu. Ini membantu dia
menjaga mengurangi perbuatan-perbuatan yang bisa keliru.

Dia menarik kursinya ke belakang dan meninggalkan meja roulette di mana ia ikut main dan sejenak dia berdiri diam, menyandar pada pagar besiyang melingkungi meja roulette itu.

Le Chiffre masih main, dan kelihatannya sedang menang. Di depannya tampak bertumpuk kepingan-kepingan seharga seralus ribu franc. Di dalam lingkungan tangan kirinya ada lagi kepingan-kepingan kuning yang lebih berharga, yaitu masing-masing setengah juta franc.

Bond sejenak memperhatikan profil orang kuat itu...
Itulah permulaan novel pertama karya lan Fleming.yangdiberi judul Casino Royale. Thriller yang digarap secara maraton sejak pagi Januari 1952 itu. rampung dalam waktu sekitar tujuh minggu Tepatnya 18 Maret 1952, atau enam hari sebelum perkawinannya dengan Anne dilangsungkan di Port Maria.

James Bond adalah pahlawan utamanya. Spion Inggris (atau Barat) yang akan selalu berhadapan dengan musuh utamanya, para spion Rusia (Timur, komunis) di mana pun dan kapan pun, di selurull penjuru dunia.

Jadi, Le Chiffre adalah 'bandit komunis pertama' yang akan dikalahkan James Bond. Tentu, setelah melalui ketegangan yang luar biasa, dari awal sampai akhir kisah. Tapi, tentu saja, yang dihasilkan lan Fleming pada Maret 1952 itu, baru draf-nya. Atau naskah kasarnya. Meski dia sudah 6 tahun ingin 'menulis cerita spy untuk mengakhiri semua cerita spy', tapi nyatanya dia tidak pernah menulis satu kalimat pun. Baru pagi jari itulah, secara tak sengaja, dia benar-benar menulis thriller yang diimpikannya.

Jadi, kalau Lu Hsun mulai menulis pada usia sekitar 37 tahun. i Fleming justru lebih tua 43 tahun! Wajar, kalau Fleming tidak PD pada karya pertamanya itu. irenanya Fleming tidak ingin kekasihnya, Anne, membaca dan nberinya komentar. Anne sendiri juga tidak ingin membaca ayang ditulis lan, sebab dia sibuk melukis. Dan lagi, Anne juga tak mengira kalau yang ditulis lan adalah 'novel serius', dalam arti novel sungguhan. Bukan sekadar 'pelarian' dari kesepian seperti karangannya.

The Godfather : Mario Capuzo Part2


DIKIRA TOKOH MAFIA SUNGGUHAN


BUKU The Dark Arena tidak menghasilkan uang. Mala| memberinya sakit, dan memaksa Mario Puzo mendarat di sakit.

Tapi dasar penjudi. Di rumah sakit, Puzo pasang taruhan pertandingan baseball dan menang. Maka kerjanya di bank (malam hari) ditinggalkan. "Aku ingin mencurahkan tenaga untuk mengarang," katanya.

Kehabisan uang pula. Kerja lagi dan keluar lagi, kali ini kerja di administrasi tentara cadangan. Tapi kerjanya di sebuah majalah (MagazineManagement) bertahan cukup lama. Sebab dinilai cukup menguntungkan. Dia menulis cerita-cerita Perang Dunia II, yang pernah juga dialaminya. Sebuah pengalaman yang sangat bermanfaat dan membantu kepengarangannya.

Di tempat itu pula, Puzo kadang dipaksa membaca sekaligus 6 buku.semua mengenai PD II. Hal ini membuat dia "ahli mengenai Perang Dunia II". "Aku tahu lebih banyak dari yang lain, karena aku membaca semua buku tersebut," kata Puzo mengenang pengalamannya.

Bruce jay Friedma, Pemimpin Redaksi dan juga novelis, ingat kebiasaan Puzo "bersandar pada kursi dan di mulutnya rokok besar mengepul, sementara di tangan kanan dan kirinya ada tiga .sebagai layaknya makanan saja".

Tepat. Buku bagi Mario Puzo. memang merupakan makanan. Inilah sebabnya ada kritikus yang mengatakan: Puzo is an avid ?serious reader. Puzo adalah tukang baca buku yang serius.

Hal itu dibuktikan pada kejadian berikut: pada saat Mario Puzo menyiapkan Godfather, dia sempat pula menulis berpuluh pembicaraan buku (resensi), di samping cerita-cerita cilik. Seperti totanya sendiri: "selama waktu itu (menyiapkan Godfather) aku to menulis tiga cerita petualangan—setiap bulan!—untuk Martin Goodman. Aku juga menulis buku kanak-kanak, yang ternyata mendapat kritik bagus dari the New Yorker. Aku juga banyak menulis resensi buku di banyak majalah. Inilah masa-masa paling kfliembahagiakan dalam hidupku!"

Membahagiakan? Keluarganya tidak setuju dengan pendapat ['III, karena uang_yang dihasilkan tidak begitu banyak!

PENDAPAT keluarganya tepat. Sebab sebelum Godfather, Mario Puzo hanya menghasilkan 6.500 dolar. Setelah Godfather, dalam sepuluh tahun terakhir, diperkirakan Puzo bisa mengeduk.... 6.000.000 dolar. Seribu kali lipat!

uang itu diperoleh dari Godfather I (I juta dolar). Untuk Godfather II, khususnya skenario, Puzo mendapat 100.000 dolar, plus 10% keuntungan yang diperoleh (jadi kalau film ini sukses, uang pun akan mengalir terus ke koceknya).

Godfather III siap pula, dan Puzo paling sedikit mendapat 250.000 dolar. Penghasilan lain adalah dari menulis skenario untuk Earthquake yang terkenal itu (menghasilkan 350.000 dolar), Superman /dan //, juga The Man of Steel.

Ini memang kemenangan gemilang Mario Puzo. Setelah puluhan tahun hidup seperti kere, kini saatnya menjadi raja. Apa sajayang disentuh, jadi uang. Tangan midas bekerja untuknya!
Buku, film, esai, cerita pendek. apa saja jadi uang. Dan para wartawan mengejar dan mengubernya. Anak-anak muda ingin bertemu, untuk memperlihatkan mereka "persis seperti Sonny" (tokoh dalam Godfather, anak Don Corleone).

Tak terkecuali tokoh-tokoh mafia yang sesungguhnya, ingin bertemu muka dan omong-omong dengan Mario Puzo. Mereka I sama sekali tidak percaya, bahwa Mario Puzo "tidak pernah masuk dalam dunia bawah tanah seperti mereka". Bahkan, bandit-bandit mafia itu mengatakan, "Mario pasti pernah menjadi Don!"

SATU Dl ANTARA Don murni tersebut, ingin sekali ditulis riwayat hidupnya oleh Puzo. Tapi pengarang gendut ini menolak. Dia memang tidak ingin terlibat dengan mereka, dalam bentuk apa pun.

The Godfather tampaknya memang sangat otentik (kalau Anda membacanya. rasanya pendapat ini memang benar adanya). Tapi justru di situlah keunggulan Mario Puzo: dia menulis buku fiksi, karangan, tapi pembaca yakin "sebagai yang sesungguhnya". “Padahal aku sangat menyesal buku itu tidak saya garap dengan bahan-bahan hasil penyelidikan yang mendalam," kata Puzo.

Tapi bahwa dia tahu benar lika-liku judi, benar adanya. Sejak dunia judi memang 'ditekuninya' benar-benar. Bahkan ketika a, dia pun sering pergi ke Las Vegas untuk judi.

Di tempat itu, tentu saja dia dikenal sebagai "penjudi kere". Tapi setelah Godfather, sebutan itu dengan sendirinya berubah. lagi 'degenerate gambler' (penjudi teri). tapi justru mendapat panggilan khusus: "Mr. P".

Itu tidak berarti Mario Puzo telah menghambur-hamburkan di tempat judi. Tidak. Dia tetap membatasi diri. Pokok kesenangannya berjudi jalan terus, tapi tidak sampai menghancurkan diri dan hidupnya. Apalagi keluarganya. Maka setahun Mario Puzo hanya menghabiskan 20.000 dolar.

Artinya, Mario Puzo cukup 'tahan uji' menjadi orang kaya. Tidak sombong, tidak sok, tidak mencari publikasi dengan banyak mengadakan wawancara (meski dibayar sekalipun). Malah, 'budaya wawancara' kemudian dibencinya.

"Saya tidak peduli sama sekali dengan segala macam interview," katanya atos. Pun "saya tidak suka membuat pernyataan-pernyataan yang bodoh dengan menyanjung diri sendiri".

Pendek kalimat, Mario Puzo lebih suka lari dari dunia wartawan (koran, majalah, elektronika). Ya, meski Godfather merupakan bestseller-dan urutan nomor satu-baik di Amerika, Inggris,
Jerman, dan lainnya. Pun telah diterjemahkan ke puluhan bahasa di dunia.

The Godfather : Mario Capuzo Part1

Tindakanmu seperti binatang paling buas di hutan. Untung kamu tidak memperkosa gadis itu. Kalau hal tersebut kamu lakukan, pasti aku hokum 20 tahun penjara!”.

Amerigo Bonasera gembira sekali mendengar suara hakim tersebut. Sudah sejak semula, dia menganggap dua pemuda yang coba memperkosa anak gadisnya, sebagai binatang. Maka kalau hakim berkata begitu, cocok adanya.

Hakim meneruskan bicaranya:…tapi karena kamu berdua masih muda, dan kamu belum pernah berurusan dengan polisi. Karena keluargamu baik-baik dan lagi pengadilan memang tidak bermaksud membalas dendam, maka kamu berdua aku hokum harus… masuk pendidikan anak-anak terlntar selama tiga tahun.”

Amerigo Bonasera sangat terperanjat. Anak gadisnya yang sangat cantik, satu-satunya yang dia miliki, masih terbaring di rumah sakit dan pahanya patah gara-gara perbuatan kedua pemuda itu.

Bagaimana mingkin kedua pemuda itu dibebaskan? Mereka memang anak-anak penggede, dan Amerigo Bonasera orang biasa. Inikah keadilan? Inikah Amerika?

Amerigo Bonasera sangat marah. Darahnya terbakar hebat. Apalagi setelah dilihatnya kedua anak muda itu tersenyum-senyum bangga, karena menang. Mereka, kedua anak muda itu dan keluarganya, saling berpelukan. Tertawa cukup keras. Ya, sementara anak gadis Amerigo Bonasera yang sangat cantik, satu-satunya pula, tergeletak di rumah sakit.

Peristiwa itulah yang membuat Amerigo Bonasera tak dapat mengendalikan diri.
Diri menjulurkan tubuhnya kedepan dan dengan penuh kebencian berteriak kepada orangtua kedua anak itu: “Kalian akan menagis seperti aku menangis. Aku akan memaksamu menangis seperti anakmu yang membuat aku menangis!!”

Karena teriakan itu, kedua anak muda itu, dan orangtua mereka, cepat-cepat diamankan.

Amerigo Bonasera benar-benar penasaran. Pikirannya yang dipenuhi kebencian, ingin segera membeli senjata untuk menembak kepala kedua anak muda itu, hingga remuk. Tapi yang dilakukannya kemudian adalah berpaling kepada istrinya, dan berkata; “Mereka telah berlaku bodoh kepada kita!”

Dan setelah mengambil nafas panjang, Amerigo Bonasera berkata tandas: “Untuk mencari keadilan, kita harus menghadap Don Corleon.”

Adegan diatas adalah permulan buku The Godfather karangan Mario Puzo.
Permulaan yang menggetarkan. Memaksa pembaca untuk tidak melepaskan buku tersebut sampai akhir. Karena ceritanya memang mencekam. Penuk kejutan. Luar biasa. Aneh. Ngeri tiada tara.

Kedua pemuda yang memperkosa anak Amerigo Bonasera itu, misalnya, akhirnya dihajar habis-habisan oleh anak buah Don Corleone (Godfather) sampai anggota badan mereka patah dan harus dirawat di rumah sakit sampai berbulan-bulan.
Dalam bentuk Pocket Book, tebal buku sekitar 500 halaman. Toh kita tidak ingin melepaskan begitu saja. Sebaliknya, ingin cepat menyelesaikan.

Maka layak kalau buku tersebut dicetak ulang beberapa kali. Bahkan oleh beberapa penerbit. Malahan untuk tahun 70-ana, The Godfather adalah yang paling top. Terjual samapai 13.000.000 eksemplar adalah prestasiyang luar biasa. Dibawahnya adalah The Exorcist-nya Blatty (11 juta). Love Storynya Eric Segal (9,8 juta), Jaws yang terkenal itu, karya Benchly (9 juta).

THE GODFATHER kemudian dibuat film, dengan tokoh utama actor kenamaan Marlon Brando sebagai Don Corleone (Godfather), digarap sutradara jempolan Francis Ford Cappola, dan diedarkan oleh Paramound.

Keberhasilan film tersebut, dibuktikan dengan Oscar, lambing keunggulan dunia film. Juga dibuatnya film The Godfather II dan III, yang sama suksesnya (boxoffice).

Tapi dibalik suksesnya The Godfather buku maupun The Godfather film, ternyata terpampang kisah menggetarkan pengarangnya, Mario Puzo, yang hampir saja mati konyol sebagai penulis.

Seperti katanya sendiri: “Kalu The Godfather tidak menghasilkan uang banyak, barangkali aku sudah mati.”

Apa sebab? Karena Mario Puzo dalam keadaan sangat miskin. Untuk membelikan sepatu anaknya saja, dia harus meminjam uang dari kakanya. Belum lagi masalah rumah tangga yang begitu banyak. Satu istri, lima anak, hidup di Amerika yang materialistis. Persetan dengan orang lain yang miskin atau mati konyol atau sakit atau menderita atau hamper mati atau pingsan atau senewen.

Lebih ngeri lagi, Seluruh keluarga Mario Puzo tidak memberi dorongan. Ibunya mengatakan Mario Puzo telah ‘gila’ berani hidup sebagai pengarang. Saudara-saudaranya, anak-anaknya, semua mengecam karena terbukti karir penulis tidak bisa mencukupi kehidupan mereka. “Aku sangat marah kepada mereka!” kata Mario Puzo, “sebab tak seorang pun dari mereka yang mendukungku!”

Dia ingat peristiwa tahun 1955. Waktu itu, dia sudah menerbitkan buku berjudul The Dark Arena. Meski para pengkritik mengatakan buku itu bagus, ternyata tidak laku dijual. Buku diselesaikan tahun 1935. Tapi mencari penerbit sulitnya ngudubilah setan.

Baru disetujui 15 tahun kemudian. Dan harus menunggu 5 tahun lagi untuk melihatnya sebagai buku sungguhan. Tapi hasilnya sangat mengecewakan: hanya memberikan penghasilan 3.500 dolar kepada Mario Puzo. Dipotong pajak yang hamper 50 persen dan agen 10 persen, sisanya hanya membuat Mario Puzo lebih menderita.

Dalam keadaan seperti itulah, Mario Puzo tiba-tiba diserang penyakit. Kandung empedunya memberontak, sakitnya bukan main. Mario segera memanggil taksi dan pergi ke Rumah Sakit Veteran. “Hari itu Ntal, kenang Puzo. “Begitu keluar dari mobil, aku terjatuh di…parit. Aku tergeletak. Dan berpikir: inilah aku, pengarang yang bukunya telah diterbitkan dan dinyatakan sebagai bagus? Dan aku tergeletak disini, hamper mati seperi anjing kudisan!!”

Mario Puzo benar-benar marah kepada dirinya sendiri. “Aku sudah muak jadi orang miskin!” teriaknya. “Aku harus jadi pengarang yang kaya dan termasyur!!!”


MEMETAKAN BERAKHIRNYA KEMISKINAN

Waktu itu Mario Puzo berumur 34 tahun. Sepuluh tahun kemudian , buku kedua terbit. Judulnya The Fortunate Pilgrim (1965). Para pengkritik mengatakan buku ini bagus. Mario sendiri sejak semula memang yakin bukunya baik, punya nilai sastra. Tapi…

Ya, tapi buku keduapun sama nasibnya dengan buku pertama: tidak menghasilkan uang. Malahan lebih sedikit bila dibandingkan buku pertama. Dipotong pajak dan agen.. Sisanya hanya menghasilkan kere lagi!

“Aku sangat menyukai novelku yang kedua itu,” kata Mario Puzo, dan aku menganggapnya sebagai karya seni. Tapi penerbitnya, Atheneum, punya pendapat lain. Sebuah novel klasik selamanya tidak akan mendtangkan ung!

Mario Puzo ingin jadi pengarang murni. Artinya dia hanya berurusan dengan sastra, dan bukan yang pop-pop itu. Maka dia minta diberi bantuan lagi, karena dia akan menghasilkan sebuah novel yang terbesar. Keinginan ini ditolak!

Mario sangat kecewa. Dia ingin membuat novel lain yang terbesar, yang murni, yang bernilai sastra. Tapi penerbitnya menginginkan cerita yang ada bau mafianya. Atau malah cerita tentang mafia. Menurut mereka, kisah semacam itu, akan laris. Bisa mendatangkan uang!

Apa boleh buat. Mario Puzo sudah jemu jadi kere. Umurnya sudah 40 tahun. Kalau belum bisa menghasilkan uang juga, lantas mau jadi apa?

Meski agak berat, Mario Puzo menerima juga tawaran penerbit membuat novel tentang mafia.

Dari Putnam, Mario mendapat uang panjar lumayan jumlahnya. Setelah itu, mulailah Mario mengadakan riset tentang mafia, dunia bawah tanah yang menghantui Amerika Serikat selama puluhan tahun.

Karena Mario Puzo sendiri orang Italia, maka dia mendapatkan banyak bahan dari cerita-cerita orang Italia (Sisilia khususnya) yang dikenalnya. Ditambah penyelidikannya, akhirnya menghasilkan The Godfather yang terkenal itu.

TENTU SAJA, tidak semudah pelaksanaannya. Tiga tahun mempersiapakan, jelas merupakan bukti kerja keras Mario Puzo untuk menantang nasibnya yang buruk sebagai pengarang dan sekaligus untuk membuktikan dia bisa menulis buku yang menghasilkan uang banyak. “Aku tidak merasa sangsi bisa menulis sebuah novel yang bakal menjadi bestseller!” katanya.

Pada bulan juli 1968, selesailah karangan itu. Karena Mario Puzo sudah tidak punya uang lagi. Dan disamping itu, dia sudah menjanjikan kepada istrinya untuk diajak ke Eropa (yang sudah ditinggalkan selama 20 tahun). Maka naskah tersebut diserahkan kepada penerbit dan Mario minta (pinjam) 1.200 dolar. “Sebelum saya pergi, “ kata Mario. “Saya minta kepada penerbit jangan memperlihatkan naskah saya itu kepada siapapun, sebelum saya kembali dari Eropa.”

Ketika kembali, penerbit Putnam hanya sanggup memberi 375.000 dolar. Mario sendiri meminta 410.000. “Untuk buku paper-back, 400.000 dolar saja sudah merupakan rekor tertinggi!” kata pihak Putnam.

Mario Puzo tidak mau kurang lagi. Maka bersama rekannya dari Putnam Mario keluar masuk penerbit di New York. Akhirnya Fcwett setuju membayar yang diminta Mario, setelah pengarang ini sehari suntuk berputar-putar dan lupa makan.

Kabar itu benar-benar sangat menggembirakan. Uang 400.000 dolar lebih (berarti Rp. 3 miliar lebih) tidaklah sedikit. Dalam seluruh karirnya sebagai pengarang, uang sebanyak itu belum pernah dimilikinya. Bahkan separonya pun belum pernah. Tapi kini, Rp. 3 miliar bukanlah suatu impian. Maka ketika seluruh keluarga Mario Puzo diberitahu (ibu, kakak, adik, anak-anak, istri) bahwa dia telah menjual bukunya seharga Rp. 3 miliar lebih, tak seorangpun yang percaya. Baru keesokan harinya, mereka yakin, apalagi setelah Mario Puzo memperlihatkan cek 100.000 dolar yang merupakan sebagian dari pembayaran yang harus diterimanya.

Mereka pesta. “Kini berakhirlah kemiskinan!” teriak Mario Puzo. Tapi uang 100.000 dolar tersebut (artinya sekitar 900.000 juta), ludes dalam waktu hanya 3 bulan. Digunakan untuk membayar hutang-hutang yang dia tumpuk selama dalam masa kere.

Benarkah kata Puzo: kalau Godfather tidak menghasilkan uang banyak, saya sudah mati!

Sebabnya jelas: Puzo mengidap penyakit yang sewaktu-waktu (kalau dia tidak punya uang untuk membayar dokter dan obat) merenggut nyawanya. Disamping itu, hutangnya sudah menggunung. Ditambah gencetan istri, anak-anak, orangtua, dan saudara-saudaranya yang semuanya menyalahkan Puzo “telah berani hidup sebagai pengarang”.

PERTARUHAN Mario Puzo dengan dunia karang-mengarang memang riskan sekali.

Lahir di New York dari keluarga miskin (ayahnya hanya pekerja kereta api), Puzo tumbuh di lingkungan miskin pula. Dia sudah harus mencari uang pada usia 6 tahun, sebagai kacung. Sedikit besar gemar judi.

Barangkali dia akan menjadi bajingan atau pemuda ugal-ugalan, seandainya ia tidak bertemu dengan perpustakaan yang memberinya kesempatan membaca buku macam apa saja. “Pada musim panas,” kata Mario Puzo, “aku menjadi perempuan”. Aku membaca buku-buku. Pada usia sangat muda, aku sudah mendapatkan dan kemudian menikmati perpustakaan.”

Mario Puzo gemar membaca di Hudzon Guild, dan berkenalan baik dengan petugasnya, Joseph Altshler, yang suka bercerita pula.

Tapi yang paling menarik bagi Puzo, tentu saja buku-bukunya. Sebab lewat buku-buku itulah calon pengarang ini berkenalan dengan orang-orang besar dunia. Seneca, Sabatini, Don Savage, dan lainnya. “Lalu, barangkali pada umur 14 atau 15 dan 16,” katanya, “Aku menemukan Dostoyevsky. Aku membaca semua buku karyanya yang dapat aku raih. Aku menangis untuk Pangeran Myskin dalam The Idiot. Dan aku merasa bersalah sebagaimana Raskolnikov. Aku mengerti, untuk pertama kali, apa yang sebenarnya terjadi pada diriku dan orang-orang sekelilingku.”

Tentu saja Mario Puzo sangat tergugah keadarannya, karena karya-karya Dostoyevsky memang sangat mendalam. Mengupas segala watak manusia hingga konon, memberikan ilham kepadaSigmund Freud untuk penemuannya yang terbesar , yaitu lika-liku bawah sadar manusia. Ilmu Jiwa Dalam.


Dari bacaan itu, Puzo kemudian ingin jadi pengarang. Tapi keinginan ini mendapat tentangan dari ibunya. Baiklah. Mario kerja dan menabung. Dia ingin punya pacar tetap yang sangat dicintainya. Tapi gadis itu ternyata lari. Puzo pun minggat ke eropa, keliling kota-kota besar. Dengan Jip, terutama. Mengadakan kencan dengan gadis-gadis cantik. Akhirnya Puzo justru mendapat istri.

Petualangan di Eropa itu, merupakan bahan utama buku Mario Puzo yang pertama, The Dark Arena.


Recent Post