Selasa, 26 Oktober 2010

Uji Jurus Menjagal Carrier

Rasanya sudah lama TNI tak menyelenggarakan latihan gabungan (latgab) antar angkatan. Kehadiran LatgabXV/04 Mei lalu sepertinya bisa mengobati rasa rindu, sekaligus menepis bayangan ketidakmampuan akibat embargo barat.

Skenarionya adalah menggebuk armada kapal perang lawan yang nyelonong hingga wilayah perairan RI.Tepatnya mereka sudahberada digerbang Selat Sunda-Samudera Hindia. Hasil penyelidikan dari elemen intai berhasil mengoleksi sejumlah info. Selain kapal-kapal perang berukuran kecil, disana ditemui pula kapal besar sekelas kapal induk (carrier). Jelas target macam ini tak bisa dibilang main-main. Mesti ada jurus spesial buat melahap atau paling tidak mengganjal iring-iringan kapal lawan tadi.

Lantas dibuatlah taktik perang laut oleh para petinggi TNI. Kesimpulannya: ada empat jurus perang yang diluncurkan. Sebagai jalan pembuka maka, TNI AU menggelar tiga jet tempur Hawk 209/109 Skadron Udara 12. Mereka menggebuk target dengan roket FFAR (Folding Fin Aerial Rocket] kaliber 70 mm dari ketinggian 3.000 kaki. Tiap pesawat dibekali 14 roket yang dibagi menjadi dua tabung pelontar. Bantuan tembakan udara merupakan upaya me-minimalisir kemampuan anti-pesawat lawan.

Membelah kapal induk

Serbuan udara berakhir sudah. Jurus kedua yang digelar adalah menghantam target dengan torpedo SUT (Surface Underwater Target) oleh kapal selam KRI Nenggala (402). Taktik ini dipercaya bisa membelah bagian bawah lam-bung kapal. Pada kenyataan-nya lambung target yang disimulasikan oleh eks kapal tandu samudera TNI AL, KRI Rakata memang berantakan. Secara teknis Rakata punya lapisan baja yang tebal. "Ke-tebalannya setara dengan kapal induk," ujar KSAL Laksamana TNI Bernard Kent Sondakh disela-sela penembakan.

Setelah serangan senjata bawah air, giliran gempuran atas permukaan yang bermain. Ada dua tipe rudal antikapal yang diluncurkan. Pertama rudal Harpoon dari KRI Karel Satsuitubun (356) disusul beberapa detik kemudian oleh Exocet MM 38 milik KRI Fatahillah (361). Serbuan rudal digelar untuk mengobrak-abrik bagian atas lambung.

Serangan berlanjut untuk yangterakhirkalinya. Sekarang saatnya peluru-peluru kanon kapal yang beraksi. Dimulai dari meriam kaliber 120 mm Fatahillah, 76 mm Karel Satsuitubun, 57 mm KRI Badik, hingga 30 mm oleh dua kapal kelas Parchim. Serangan ber-manfaat untuk menghabisi sisa-sisa target yang luput dari hujan rudal.

Berkelit dari embargo

PARCHIm-Korvet kelas Parchim KRI Teuku Umar terlibatpula dalam Latgab XV/04. la menunjukkkan aksinya dengan penembakan meriam ganda kaliber 30 mm

Boleh jadi negara-negara Barat dibuat bengong oleh kemampuan TNI AL melontar-kan berbagai persenjataan tadi. Betapa tidak? Lihat saja kenyataan ini. Harpoon misal-nya, wajib diperiksa ulang (resertifikasi) sistem setiap empat tahun sekali oleh pihak pabrikan. Kewajiban itu ter-akhir dilakukan pada 1998. Lantaran terjadi embargo, jadwal periksa ulang pada 2002 tak dilaksanakan.

Nasib serupa pun menimpa Exocet. Rudal racikan Francis tadi mesti ganti roket pendorong setiap 15 tahun sekali. Padahal Exocet mulai masuk dinas operasional TNIAL pada 1979.
Toh beragam kendala akibat aturan embargo tak bisa membuat lumpuh armada kapal perang kita. Bekalnya tak lain keahlian insinyur-insinyur lokal. Mereka berupaya meng-otak-atik sistem penuntun tcmbakan [fire control] rudal. Kartu (card) elemen perangkat elektronik itu disambung-sambung sendiri. Hebatnya ada komponen yang dibeli di Pasar Genteng, Surabaya. Lebihhebat lagi, ketika uji penembakan tanpa hulu ledak digelar se-belumnya di Laut Jawa, semua piranti elektronik ala Jatim ini berjalan lancar.


Kapal tipe LPD, KRI Tanjung Dalpele dipakai sebagai kapal markas dan komando pengendali latihan

Usaha untuk berkelit dari vonis embargo Barat juga berlaku pada kapal selam Type 209/1300. Baterai kapal yang aslinya me-makai buatan Wilhelm Hagen AG, Jerman diganti dengan baterai made in India.

Tak hanya itu. Perbaikan bagian luar kapal selam kini bisa pula digelar di dalam negeri. Kemarin misalnya, periskop kapal selam kita bengkok. Itu bila dibawa ke Jerman harganya bisa mencapai Rp 18 miliar. Setelah dikerjakan di dalam negeri hanya menghabiskan dana sebesar Rp6,5 miliar.

Taktik untuk meng-optimalkan kemampuan dalam negeri juga melekat tatakala AL menggelar program re-powering (penggantian mesin) kapal perang. Sebagai contoh kapal fregat kelas Van Speijk. Kapal eks Belanda ini tela'h mengalami penggantian mesin uap menjadi diesel. "Sekarang kalau mau operasi kita cukup hanya butuh persiapan selama 15 menit untuk berlayar," cerita Letkol Laut Taufiq, Komandan Kaiel Satsuitubun.

Kenyataan ini jelas berbeda bila dibandingkan sebelum ada program penggantian mesin. Untuk melayarkan sebuah Van Speijk dibutuhkan waktu minimal satu hari untuk memanas-kan mesin.
Dari semua itu ada satu ungkapan yang membanggakan dari Sondakh. "Semuanya dikerjakan PT PAL dan gala-ngan lokal, Koja Bahari," ungkap orang nomor satu dilingkungan TNI AL. (avi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Recent Post